Seperti kita ketahui filsafat
mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,
segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa
filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya
melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy)
dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari
650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun
disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia
Dalam abad ke 18 dengan
bermunculannya negara-negara maju dibelahan dunia, muncul cabang ilmu
pengetahuan baru yakni manajemen, yang semula masih segan diakui sebagai ilmu
pengetahuan. Hal ini bukanlah suatu yang baru. Ilmu kemasyarakatan (yang sejak
semula dinamakan sosiologi) harus memperjuangkan kedudukannya untuk menjadi
ilmu pengetahuan disamping ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Demikian pula
halnya ilmu ”manajemen” yang menjadi bahan perbincangan kita sekarang. Barulah
pada masa Taylor dan Fuyol, seiring dengan tumbuhnya negara-negara industri
ilmu manajemen itu mulai dianggap sebagai ilmu. Kelahiran ilmu manajemen
kemudian diadopsi oleh dunia pendidikan yang kemudian disintesiskan menjadi
menajemen pendidikan.
Menurut Suriasumantri (2005:35),
Setiap pembahasan tentang gejala atau objek sesuatu ilmu pengetahuan (manajemen
pendidikan), paling sedikit kita pertanyakan (1) apa hakikat gejala/objek itu
(landasan ontologis), (2) bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan
gejala/objek itu (landasan epistemologis), (3) apa manfaat gejala/objek itu
(landasan aksiologis).
Salah satu aspek yang berperan penting dalam
filsafat tersebut adalah aspek ontologi. Ontologi pendidikan yang senantiasa
mangaitkan pendidikan dengan hakekat keberadaan manusia, menyimpulkan bahwa
tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothingness), sebaliknya, tanpa
pendidikan mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan mengembangkan
kehidupannya.
Ontologi pendidikan dibahas sesuai
dengan tiga tingkatan hakekat manusia yaitu tingkat abstrak, tingkat potensi,
dan tingkat konkret. Pada tingkat abstrak pendidikan bernilai universal, mutlak
bagi manusia, berupa suatu sistem bimbingan yang berkesinambungan untuk
menumbuhkembangkan potensi atau bakat kodrat manusia yang mengarah pada
kecerdasan spiritual. Sedangkan pada tingkat potensi pendidikan adalah suatu
daya yang mampu membuat manusia berada dalam kepribadian sebagai manusia, bukan
mahluk lainnya. Yaitu sebagai mahluk kreatif yang selalu mencipta segala macam
jenis kerangka model perubahan yang berguna bagi kelangsungan dan perkembangan
hidupnya. Dengan demikian pendidikan cenderung menumbuhkembangkan kecerdasan
intelegensi melalui penyelenggaraan pendidikan sekolah. Selanjutnya
pada tingkat konkret, pendidikan terkait secara langsung dengan manusia
individual. Berdasarkan kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual,
hakekat konkret pendidikan menekankan padakecerdasan emosional, yaitu
kemampuan individu dalam mengendalikan prilakunya agar senantiasa sesuai dengan
nilai asal mula dan tujuan kehidupan.